Lumpen

Hidup menjadi semakin tak masuk akal. Sejak setiap inci langkah kaki adalah arah menuju kios-kios ritel pabrik, sejak setiap patriot industri mengendus hidupmu hingga ke meja makan, sejak televisi hanya berbicara tentang bagaimana hidup harus dijalani, sejak pemerintah berbicara tentang keadilan sosial dan kemakmuran nasional dalam bual bebal.

Setiap kali melangkah meninggalkan rumah, yang tersisa hanyalah kewajiban-kewajiban yang kian hari kehilangan maknanya. Semangatnya kabur bersama libido konsumsi yang meraksasa. Di setiap tikungan, minimarket-minimarket bersolek melebihi pelacur. Belum lagi, sehabis itu semua, tibalah ujung jalan bercerita mengenai supermarket yang payah berbenah diri agar tak terganjal lajunya. Hidup kini hanya tinggal menunggu seseorang datang membawakan label harga berupa chip yang siap dipasangkan pada tengkuk, setelah itu, tinggalah para korporat memilih mana yang akan dipergunakan.

Dan media hanya bisa batuk setiap saat. Berbohong mengenai anarki dan homogenitas. Televisi, sejak perkembangannya merupakan senjata terampuh bagi setiap penguasanya. Dengan dipegangnya industri ini, berarti hampir setengah dari hidup orang yang menyaksikannya menjadi dapat diatur. Ke kiri atau ke kanan. Produk melaju pada durasi yang menjijikkan dengan janji-janji absurd dan tipu yang manis untuk dikecap.

Sebetulnya, tak seorang pun yang tertarik dengan pembahasan tentang pemerintah. Tentang mereka yang mendandani dirinya secantik malaikat dan berperangai lucu seperti bayi. Para pemain akrobat ini berkubang pada dasar lumpur yang mereka sukai. Tak ada yang menyukai mereka selain golongan mereka sendiri. Dan tentara adalah anjing-anjing penjaga yang hanya mengerti satu isyarat. Angguk.

*

Aku kira kau tak akan berangkat, sebab tadi pagi kau memberitahu lewat telepon selulermu bahwa kau sakit. Tulang terasa nyeri akibat encok yang dihajar udara dingin malam tadi. Katamu, hingga tulang kakimu terasa linu. Entah dari mana kau mendapat kekuatan hingga akhirnya berangkat juga. Aku tahu itu dari kawanmu, Lastri.

Lastri bilang, juga melalui telepon seluler, bahwa dia mengkhawatirkan keadaanmu yang bermuka pucat dan tak enak dilihat jika berjalan. Gontai.

Aku cemburu.

Tapi mungkin dengan satu alasan itulah engkau pada akhirnya berangkat juga, padahal engkau mengiyakan ketika aku melarangmu untuk berangkat. Engkau takut. Apa yang kautakutkan? PHK!

Aku memang mengenalmu sebagai buruh pabrik dengan upah bulanan yang tak layak. Kerjamu berdiri lima jam, lalu kau boleh istirahat, makan di kantin pabrik yang makanannya tak menggugah selera. Tapi kau tetap harus makan di sana. Setelah satu jam yang membosankan bernama jam istirahat, kau melanjutkan kerjamu. Berdiri lagi di satu ruangan yang terang oleh lampu neon dengan cahaya yang tak wajar. Dua jam lagi baru kau bisa pulang. Kadang kau melakukannya dari pagi hingga sore hari, kadang siang hingga malam, kadang sedari malam dan kau baru akan pulang ketika para pedagang di pasar mulai menghitung laba-rugi serta datangnya jadwal tidur maling kelas teri.

Engkau sering mengeluh capek, tapi kau bertahan. Aku sering memintamu berhenti, dan sering kita usaikan pembahasan itu dengan bertengkar. Padahal kita hanya pacaran.

“Tulang pada linu semua, Mas. Semalam dingin sekali, encokku kambuh lagi. Mana demamku mulai meninggi. Panas rasanya tubuhku, Mas.” Aku baca lagi pesan pendek pada telepon selulerku. Darimu, kekasihku.

Aku melarangmu untuk pergi ke pabrik, engkau mengiyakan. Tapi Lastri mengirimiku pesan pendek. Katanya kau ada di pabrik. Ah, bandel kau.

Aku tanggalkan kembali seragam kerjaku. Rompi warna jeruk matang, tanda bahwa aku tukang jaga parkiran. Aku berangkat, menungguimu di gerbang pabrik, menontoni dinding-dinding pabrik yang dingin seperti memendam rahasia seribu abad. Diam, kaku dan tanpa kompromi.

Satu jam, dua jam, aku tak perduli. Aku akan menunggumu keluar dari gerbang pabrik bersama ratusan bahkan ribuan buruh pabrik lainnya. Mungkin hanya satu jam lagi, kau akan muncul dengan senyum manismu yang terkadang kecut dihantam panas dan debu. Tidak dari pabrik.

Pukul empat lewat sepuluh menit, gerbang pabrik terbuka lebar. Satu, dua, tiga, lima puluhan dan ratusan manusia dengan model dan warna baju yang sama keluar dari lubang senggama industri. Kau tak tampak.

Aku kirimi kau pesan pendek. Di mana?

Aku kirimi Lastri pesan pendek. Di mana?

Aku menemui wajahmu yang sepucat apa yang disampaikan Lastri, engkau ringkih dan seperti tak mampu lagi bekerja.

Tapi adikku perlu sekolah, katamu. Buat apa? kataku dalam hati.

Ibu perlu tambahan biaya biar bisa—paling tidak—makan dengan sedikit layak.

Engkau berjalan, seperti gontai mendekati aku dan motor bututku di seberang jalan. Di gerbang pabrik lain. Engkau tersenyum, dan aku menerjemahkannya dengan, “Mas, kita jalan-jalan dulu, yuk.” Dan aku akan tak setuju, sebab aku membawakanmu jaket, dan kita akan pergi ke klinik atau dokter atau hotel dengan bangsal-bangsal, lorong-lorong serta bau menyengat bahan kimia.

Engkau menyeberang, dan ketika hanya tinggal beberapa langkah engkau hanyut dalam pelukku … Brak!!! Engkau berantakan, terbang dan mendarat di hadapanku. Mobil berplat merah yang menabrakmu berlari sekuat tenaga dikejar beberapa motor karyawan pabrik. Temanmu. Aku termangu, engkau tak bergerak, tak bernafas, tak hidup.

Tak ada darah, yang hanya ada  sekrup, kabel, monitor, lampu …

Leave a comment