Tak ada hal lain yang patut ditunggu selain hari minggu, sebab dia adalah pengecualian dari semuanya. Sebab, hari sebelumnya adalah sabtu, hari dimana nafas kembali tersambung setelah upah nguliku dibayarkan mandor bangunan. Jumlahnya tak bisa dikatakan sedikit meski tak bisa juga dikatakan banyak. Paling tidak, dari upah nguli bisa menjadi bekal hari minggu yang selalu ditunggu.
Hari minggu adalah hari perubahan, ketika djarcok berubah menjadi samsu dalam sehari, dan istri menjadi bidadari. Dengan hal seperti ini saja, hati bisa berubah, janntung bisa terasa lebih tenang, dan pikir semakin jernih.
“Kalau hari minggu, boleh samsu, hari biasa djarcok saja.” Istriku selalu berkata seperti ini. “Hari minggu itu pengecualian, biar kita semua bisa merasa sedikit senang.” Biasanya aku mengangguk.
Hati riang, sebab malam minggu yang kami lewati, aku dan istriku lewati begitu bergemuruh. Seusai isya, setelah kedua anakku tertidur dikamarnya, biasanya kami masuk kedalam kamar yang ditutup kain. Lampu temaram lima watt didalam kamar menjadi pelengkap. Setiap malam minggu, istriku berubah wujud menjadi artis perempuan terbaik yang pernah kulihat. Menjadi Isyana, kadang menjadi Tyas. Payudaranya mendadak menjadi lebih kenyal dari biasa, dalam genggaman begitu terasa hangat. Putingnya semanis tebu. Parasnya berkilau bak wajah bintang iklan di televisi. Malam itu, percintaan seperti sesuatu yang sangat dirindu.
Biasanya, pagi sebelum matahari terlalu panas menyengat, aku mengantar istriku ke pasar. Belanja beberapa hal untuk bekal dapur. Tahu, ikan asin dan tepung terigu. Jarak dari rumah kontrakan kami menuju pasar tak begitu jauh, bisa kami tempuh dengan menumpang angkutan kota sekali naik.
Ada Anwar pedagang tahu yang memajang barang dagangannya diatas motor, ada Asih yang selain sibuk melayani pembeli juga membungkus bawang dan bumbu lain dalam satu plastik menjadi satu paket. Bisa dibeli lebih murah dan sesuai kebutuhan. Ada jalanan yang becek dan trotoar yang berubah fungsi. Ada atap-atap tak permanen dan suara tak enak yang keluar dari gitar dan mulut para pengamen. Pasar selalu berbicara kebenaran, dia tak pernah berbohong mengenai kemiskinan.
Kadang, jika sempat dan memungkinkan, siangnya kami bisa saja mengajak kedua anak kami jalan-jalan. Sangat jarang memang, tapi pernah sekali atau dua kami lakukan. Ketika si cikal masih kecil, dan ketika si bungsu masih sangat kecil. Atau kadang-kadang kami bisa menghabiskan waktu seharian di rumah saja. Aku tak punya kegiatan lain selain bekerja dan pulang ke rumah.
Menjadi bayi bagi anak bungsuku rasanya lebih baik dari banyak hal lain. Pura-pura menelan makanan yang dia suguhkan dengan piring mainan plastik berukuran sangat kecil lebih baik ketimbang pada akhirnya menyelesaikan hari ditaman kota sambil mencoba meredam tangis kedua anakku yang hilang nafsu bermainnya karena es krim dan odong-odong. Lebih baik memang seperti ini, menjadi kuda tunggangan kedua anakku, berjalan dari lawang pintu masuk rumah hingga ke lawang pintu kamar. Jarak tak seberapa jauh, punggung, lutut dan pinggangku masih mampu menopangnya. Yang tak sanggup aku topang adalah jika hari kamis kami sudah tak memiliki uang lagi karena hari minggu uang terserak disaku pedagang balon, pedagang siomay, sopir angkutan umum dan penyewa becak mini. Ini lebih baik.
Sorenya, jika memang seharian dihabiskan dirumah, maka kopi susu yang hanya seminggu sekali menemaniku diambang pintu berbicara bersama bunyi kretek terbakar bara. Membiarkan semuanya terurai, senin hingga sabtu. Hari-hari yang enggan diberi makna, sebab bagi mereka yang ada adalah keringat, debu dan darah yang mau tak mau harus tumpah jika lengah. Tertimpa batu atau perkakas. Sedangkan televisi setiap hari berbicara mengenai orang kaya semua, tak beda jauh dengan toko buku dan bioskop.
***
“Aku sudah keluar, Kang.” Istriku berbisik dicuping telinga kananku ketika aku tindih tak lebih dari lima belas menit.
“Tahan, Dek. Aku sebentar lagi.” Aku memburu, melepaskan semua sisa tenaga. Menghabiskan semua angan dan menitipkan kesenangan pada gumpalan dan tetes sperma yang tersisa.
Kami lalu lunglai, belum berpakaian dan masih sama-sama berkeringat. Nafas kami berdua masih tersenggal dalam udara kamar yang pengap dan cahaya yang temaram.
“Nanti lagi kaya gini, Kang. Akangnya mandi dulu, biar wangi, biar enak keakunya.” Istriku bangkit, menutup separuh tubuhnya dengan kain sarung. Dari dada hingga paha. Susunya masih bisa kulihat menyembul dari balik kain sarung itu. Dia berjalan menuju kamar mandi, berada didalamnya beberapa waktu, lalu masuk lagi ke kamar.
“Ya, kadang-kadang memang aku terlalu letih. Jadi malas untuk mandi.” Aku berkilah, tapi memang biasanya seperti itu.
“Letih kok ya malamnya tetap minta.” Dia merebahkan tubuhnya lagi di kasur. Masih dengan kain sarungnya. Aku menutup selangkangan dengan handuk kecil saja.
Aku bangkit, meninggalkan bidadari malam mingguku menuju kamar mandi. Membersihkan sisa sperma dan kencing. Lalu kembali ke kamar.
“Besok, sehabis dari pasar kita sarapan tahu gimbal ya, Kang. Aku sudah lama ndak makan tahu gimbal, sekalian lepas kangen sama tahu gimbal simbokku di Semarang” Tahu gimbal dua porsi tak apalah, tak setiap minggu kami makan.
“iya, yang dekat pasar saja. Diujung jalan sebelum naik angkutan itu ada kan. Yang jualnya di tenda.”
***
Paginya, setelah shalat shubuh, seperti minggu lain yang sudah kami lewati, kami bersiap pergi ke pasar. Anak-anak masih dikamarnya tertidur. Aku melongok melalui tirai kain, melihat mereka tidur berdua. Masih pada pulas.
Setelah siap semua, istriku dandan seperlu dan seadanya, aku mengenakan celana panjang, kami berdua berjalan bersama. Menyusuri gang menuju jalan utama diujung sana. Melewati kentor kelurahan yang kumuh dan berdiri dipinggir jalan. Menunggu angkutan.
“Mas, aku seperti biasa ya, minta dibungkus duapuluh biji.” Anwar sigap membungkus tahu kedalam plastik benik yang sudah disiapkannya. Kami berjalan beriringan menuju penjual ikan asin yang diapit lapak penjual salak dan penjual gorengan. Membeli beberapa bungkus ikan asin dari beberapa jenis.
Seperti janji semalam, kami berjalan menuju penjual tahu gimbal diujung jalan. Kami memesan dua porsi tahu gimbal pedas, lalu duduk.
“Kang, kemarin itu anak-anak minta dibelikan televisi. Aku bingung jawabnya.” Dia memulai pembicaraan. Membuatku kaget dan juga bingung.
“Televisi buat apa, sih? Kita tak butuh televisi kan, Dek. Ndak bagus dan kita ndak ada uangnya. Kalau ada uangnya mungkin bisa kita beli.” Tahu gimbal kami datang, aku menyodorkan yang pertama untuk istriku.
“Namanya anak-anak, Kang. Lihat tetangga, lihat teman-temannya.” Kami mulai makan, suara istriku mulai kacau kudengar karena mulutnya penuh tahu, ketupat dan bumbu.
“Bilang saja, kita tidak butuh televisi. Kalau mau nonton ikut tetangga saja, jangan sering-sering. Ndak bagus dan ndak enak sama yang punya. Bilang, kalau bapak lagi dirumah kan selalu diajak cerita dan main kuda-kudaan. Lebih mengasyikan.” Tak mungkin orang seperti kami membeli televisi atau berobat ke lemari es. Uang yang kami punya hanya cukup untuk bayar kontrakan rumah, makan selayaknya dan sisanya ditabung untuk jika sewaktu-waktu sekolah miminta tumbal.
Televisi, seperti juga buku dan film, hanya mengajarkan kebodohan dan kebebealan. Orang kaya semakin kaya sembari menyoraki mereka yang hidup miskin semakin papa. Anak-anak kita sudah sekolah, sudah akan menjadi bodoh. Tak perlu lagi ditambah televisi. Orang seperti kami mana butuh televisi. Orang seperti kami hanya butuh hari minggu. Hari yang pada malamnya kami habiskan bersama keringat istri yang berdaging kenyal. Satu-satunya hari yang membuat kami merasa memiliki daya.
Tahu gimbal kami berdua sudah kami tandaskan bersama, kami segera mencari angkutan yang akan membawa kami pulang. Aku merasa, pembicaraan mengenai televisi ini sudah menampar kedua pipiku. Menyadarkanku bahwa orang seperti kami luput dari Indonesia. Luput dari berita dan cerita. Kami tak memiliki mobil, tak memiliki cinta yang berbau novel hari ini, kami tak mengenal siapa-siapa yang memiliki jabatan koruptor.
Sesampainya dirumah, aku buka tirai penutup kamar anak-anakku, mencium mereka, membangunkan mereka. Mengajak mereka menunggang kuda.